Hutang + Riba = Kombinasi yang Mengerikan

Seharian tiduran karena badan terasa lemas, mungkin masuk angin atau ntah apalah yang jelas memang minta jatah istirahat. HP berdering tanda ada sms masuk ternyata pelanggan order stiker pengen beres sore. Haduh… Langsung aja semua diarahkan ke sahabat yang ada di tempat usaha.

Selanjutnya telp dari seorang sahabat saya yang lain membangunkan, minta datang ke tempatnya. Mau bikin ini itu, dijelaskan besok aja atau kalo mau ke tempat aja ada tim disana. Gak mau pengen diriku sendiri yang datang. Waduh… besok aja ya

Menjelang sore yang paling keren, sms dari pegawai bank. Katanya besok tempo pembayaran angsurang. Waduh pake banget yang ini mah. Waduhnya lagi inget kas usaha yang ada dikit karena banyak tagihan yang belum cair. Super waduh.




Saat sakit begini, pikiran jadi sering melebar kesana kemari, teringat pertama kali bikin usaha sendiri dan memang tak pernah lepas dari namanya hutang dan riba.

Pengusaha itu Harus Dipercaya Sama Bank dan Wajar Banyak Hutangnya

Tahun 2008 ketika saya mulai bermimpi untuk membuat usaha sendiri, meski belum tahu usaha apa, dalam benak saya, saya harus pinjem uang dari bank. Pemikiran itu saya dapatkan dari buku-buku pengusaha yang saya baca.

Lupa judul bukunya dan ntah dimana sekarang itu buku-buku itu sekarang. Intinya semua mengajarkan untuk berani berhutang.

Seingat saya ada buku dari pengusaha dalam negeri yang bercerita tentang kesuksesannya membangun usaha dengan mengandalkan pinjaman di bank. Bahkan dengan triknya beliau bisa beli properti dengan teknik pinjam di bank.

Keren…  itulah yang tertanam di otak.

Ada juga buku pengusaha bule yang mengajarkan bisnis dengan modal pinjam ke bank juga. Namun yang ini tidak ada trik trik seperti buku pertama. Hanya saja, dengan bertumbuhnya usaha maka makin dipercaya oleh bank.

Waktu pertama bikin usaha warnet ditahun 2009 kalo gak salah, awalnya tidak menggunakan modal pinjaman bank. Cuma menggunakan dana tabungan dan sedikit pinjaman dari bapak kalo gak salah. Atau dari teman. Lupa lagi. Intinya gak pake bank.

Semua berjalan dengan perlahan. Karena waktu itu masih kuliah juga jadi berpatnerlah sama seorang sahabat.

Karena otak sudah terdoktrin bahwa harus pinjam ke bank, dan waktu itu belum ada yang bisa dijadikan jaminan. Kenalan lah sama salah satu bmt. Pertama yang nabung dulu lah… ada koperasinya jadi anggotalah… intinya kenalan dulu.

Begitu ada penawaran pinjaman, dihajarlah itu pinjaman lumayan buat memperpanjang kontrak tempat warnet. Haha…

Usaha itu godaannya banyaaak pake banget, serangan dari pesaing, serangan dari teman yang ntah apa maksudnya juga masalah dengan partner . Dan yang paling mengerikan adalah ketenangan batin. Liat anak smp berduaan dalam sekat dan nonton yang hot itu sesuatu banget.

Karena satu lain hal, saya dan partner memutuskan berpisah. Dan warnet dilanjutkan sama beliau. Pertama ngalamin usaha bubar begini rasanya berjuta rasa. Beberapa bulan saya belum bergerak bikin ini itu, menikmati kegalauan dulu.

Setelah galau reda, langsung bikin usaha percetakan yang Alhamdulillah berjalan sampai sekarang. Karena gak punya modal buat sewa tempat sekalipun. Akhirnya saya pinjem kali ini ke salah satu bank syariah.

Kali ini pun berpartner lagi karena rencananya mau sambil lanjutin kuliah. Selama masa galau kuliah pun gak semangat dan gak punya buat bayarnya. Namun apa daya, berpartner dan tak sevisi malah tambah pusing dan tak ada waktu untuk kuliah. Akhirnya sampai saya nikah itu kuliah gak beres beres  haha…

Biaya Nikah Pun Ngutang Ke Bank

Pas mau nikah, pihak keluarga istri ingin saya menyediakan dana untuk acara pernikahan yang jumlahnya sekian. Mungkin karena hasil usaha saya dihabiskan untuk biaya cicilan, jadi tabungan saya cuma dikit dan tak mencukupi nilai sekian.

Akhirnya saya sekolahkan motor ke bmt yang diceritakan di awal. Cair dan akhirnya jadi nikahnya.
Waktu itu bapak saya ingin beli tanah di kampung, Kakak saya gak mau bantu akhirnya aku masukin akta tanah ke bank syariah kebetulan ada temen sma yang kerja disana sebagai AO.

Cair 75jt dan dibelilah itu tanah. Semua pinjaman atas nama saya karena usia bapak tercinta waktu itu sudah ketuaan menurut pihak bank.

Kata bapak, angsurannya bantuin ntar tanahnya dapat jatah. Baik bapak, lanjut… itu angsurannya 2,7jt/bulan selama 4 tahun.

Tahun 2014, kios tetangga yang luasnya 2 kali lipat dari tempat usaha semula, mau dioper kontrak. Waktu itu yang kerja 4 orang. Dan orderan lagi bagus dengan mantap saya pindah ketempat tersebut. Uangnya pinjem lagi ke bank.

Itulah bagian paling pusing dalam hidup saya, angsuran saya pernah sampai 5 juta lebih satu bulan. Memang pada akhirnya terbayar lunas. Tapi hari-hariku sudah tidak menyenangkan. Rasa sosial dan bermasyarakat mulai pudar karena yang terbayang hanya uang uang dan uang.

Apalagi saat order sepi, karyawan ada kesalahan dan ketika sakit datang, angsuran harus tetap jalan. Ini yang menyedihkan. Efeknya keluarga tak harmonis, pertemanan jadi renggang dan suasana kerja jadi lebih mencekam.

Yang lebih mengerikan lagi, saat sudah mulai sadar bahwa pinjam ke bank yang sudah tentu ada ribanya itu tidak menentramkan, saya malah pinjem lagi uang buat rumah yang ditempatin sekarang. Sempurna pusingnya…

Nah angsuran inilah yang saat ini masih harus tertunaikan dengan baik meskipun keadaan lagi sakit. Tagihan tetaplah tagihan… Itulah kenapa judul tulisan ini Hutang + Riba = Kominasi yang Mengerikan.

Pengusaha Keren Itu yang Tanpa Hutang Apalagi Riba

Semua berubah ketika negara api menyerang… Alkisah sebuah grup yang digawangi oleh mas Saptuari viral di facebook. Saya ikutan kepo dan jleb… masuk akal dan realistis. Pengusaha keren itu yang tanpa hutang apalagi riba.

Ini doktrin baru pengusaha yang keren abis menurut saya. Kekinian pokoknya karena tanpa efek samping. Kalo yang doktrin pake pinjaman bank itu ada efek sampingnya.

Mirip teori flat earth yang juga heboh tahun kemarin, ia mencoba melawan teori globe earth yang sudah tertanam sejak kecil dalam otak kita. Banyak yang berubah haluan namun banyak juga yang menentang. Begitupun usaha tanpa hutang dan riba ini. Ada resistensi namun ada juga yang mendukung.

Saya beli buku yang “kembali titik nol” supaya lebih masuk tuh ilmu baru dan akhirnya merasa terpukul, pengusaha kelas abal-abal macam saya sudah main main dengan hutang dan riba. #meringisbanget

Karena kesibukan dan rutinitas, saya belum bergerak untuk merubah keadaan. Namun istriku tercinta membelikan lagi buku yang satunya ‘Mencari Jalan Tuhan’… Wusssss, serasa ditampar lagi.
Kali ini harus ada perubahaan, saya ingin bayar hutang bank itu secepatnya, titik!

Menurut mas Saptuari, ada 3 kondisi saat orang ingin bebas dari hutang riba,
  1. Amputasi, artinya jual aset dan buat bayar hutang.
  2. Rawat Inap, difokuskan untuk secepatnya melunasi hutang.
  3. Rawat Jalan, hutangnya dilunasi dengan membayar secara biasa tapi gak pinjem lagi.

Jalan yang Saya Pilih

Saya inginnya pilih amputasi cuma gak ada asetnya, tanah yang dibeli bapak tempo hari pun gak jelas jatah sayahnya. Saya ngomong gak enak keluarga besar. Saya 8 bersaudara soalnya.

Rumah yang sekarang saya tempati rencana awalnya akadnya jual beli namun pas menjelang transaksi malah rubah jadi akad gadai karena anak yang punyanya gak rela rumah kenangannya dijual.

Mau oper gadai ribet juga karena yang punya rumahnya kerja di luar negeri.

Pelajaran pentingnya, semua akad transaksi harus jelas bahkan sama keluarga sekalipun.

Opsi ketiga, saya punya andil di sebuah perusahaan EO di niche tertentu. Saya kepikiran untuk untuk menjual kepemilikan saya disana buat bayar bank. Belum apa-apa, sahabat saya yang memimpin dan menjalankan bisnis ini sudah overprotektif duluan. Dikiranya saya mau menyebrang ke pesaingnya.

Saya terangkan bahwa saya ingin tobat dan melunasi hutang bank, beliau malah ngajak debat bahkan sampai bawa seorang ustadz untuk menceramahi saya. Masalah tambah panas karena diluaran muncul isu keretakan di tim EO kami.

Padahal cuma pengen bayar hutang, kok jadi panjang. Waduh lagi….

Supaya dingin lagi dan usahanya kembali fokus, saya skip dulu rencana itu. Tapi otak terus berputar bagaimana cara mengamputasi itu hutang bank.

Trus Solusinya Apa?

Semakin dipikir semakin pusing belum lagi masalah kiri kanan dan saat tubuh sakit, semuanya mulai bercampur aduk tak karuan dan rasanya amazing pake banget.

Hari kedua, tubuh udah agak mendingan, cuma pikiran kalut beneran jadi gak ketempat usaha lagi. HP saya titip ke sahabat yang kerja. Saya tambah bingung cari cara mengamputasi hutang tersebut. Semakin dipikir semakin pusing.

Diputar ketiga opsi tersebut, ditimbang timang akhirnya tambah bingung. Otak tuh rasanya panas… mirip computer ngehang. Bahaya… saya ambil obat biar bisa tidur. Tidurlah biar gak berfikir.

Bangun tidur agak mendingan tapi ketika pikiran itu datang, pusing lagi. Waduh… saya cari buku ‘Mencari Jalan Pulang’ dan saya baca acak. Akhirnya saya menemukan jawabannya, jangan cari solusi tapi carilah Allah SWT yang memiliki kuasa atas segalanya.

Duar… otak saya terasa bergetar dan hebatnya, pencarian solusi yang tadinya berputar terus akhirnya berhenti. Yang teringat selanjutnya malah dosa-dosa saya termasuk dosa riba ini. Pengen nangis rasanya.

Ini mirip yang sering Aa Gym ceritakan tentang soal ujian. Kalo pengen tahu jawabannya tinggal dekati aja yang membuat ujian.

Saya tahu diri, 9 tahunan main hutang dan ribanya, baru sebulan tersadar pengen semuanya selesai. Pasti tidak semudah itu. Pada episode ini pun pasti ada prosesnya.

Seperti yang Mas Saptuari tulis, solusi saat ini, ya terus dekati Allah aja… dan jadikan sabar dan solat sebagai penolong. Itu aja… Soal tagihan ya tetap harus dibayar, rawat jalan pun gak apa-apa jika  belum ada solusi untuk rawat inap atau amputasi.

Mudah-mudahan Allah segera memberi solusi bagi saya supaya bisa sesegera mungkin mengamputasi hutang saya. Amin.

Saya sebenarnya sudah tidak berniat punya blog pribadi lagi, cuma sebagai pengingat bagi diri akhirnya ditulislah. Dan sepertinya akan bersambung…

Postingan terkait:

1 Tanggapan untuk "Hutang + Riba = Kombinasi yang Mengerikan"